At-Tauhid Edisi XV/28
“Barangsiapa menggantungkan (memakai) jimat, maka ia telah berbuat syirik.”[1]
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang lebih rendah dari itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (Q.S. An Nisaa’: 48)
Hukum memakai jimat:
1) Syirik kecil : Jika diyakini hanya sebagai perantara, sedangkan yang memberikan pengaruh adalah Allah. Termasuk dosa besar yang tidak bisa diremehkan.
2) Syirik besar : Jika diyakini mampu memberikan manfaat atau menolak bahaya dengan sendirinya.
Jika seseorang mati namun belum bertaubat dari syirik akbar, jadilah ia penghuni neraka yang kekal.
Pengguna jimat pada hakikatnya telah menganggap jimat sebagai sebab untuk meraih manfaat atau menolak bahaya, padahal hal tersebut tidak terbukti menurut syariat maupun akal sehat.
Orang yang memakai jimat tidak bertawakal kepada Allah, karena hatinya telah bergantung kepada jimat, berpaling dari Allah, serta merasa cukup dengan jimatnya.
Tawakal yang sebenarnya :
– menyandarkan urusannya hanya kepada Allah
– meyakini bahwa tidak ada satu hal pun yang terjadi kecuali atas takdir Allah
– menyertainya dengan usaha melakukan sebab yang dibolehkan oleh syariat
[1] H.R. Ahmad, dihasankan oleh Syaikh Al-Albani.
Beberapa kisah seringkali masuk ke telinga kita bahkan seringkali kita saksikan secara langsung. Seorang pengusaha yang baru memulai usahanya mendapat saran dari salah seorang temannya untuk menggunakan ‘penglaris’. Karena kondisi keuangan yang semakin sulit dan hutang semakin melilit, akhirnya pengusaha tersebut menuruti saran tadi dengan harapan akan datangnya rezeki yang melimpah.
Kisah lain, seorang pejabat yang ingin jabatannya ‘langgeng’ dan disegani bawahannya, mendatangi ‘orang pintar’ agar dibuatkan jimat untuk tujuan tersebut. Begitu pula dengan seorang yang ingin agar tubuhnya kebal terhadap senjata tajam, kemudian menggunakan benda (gelang atau cincin, misalnya) dari ‘kyai’ untuk tujuan tersebut.
Ada juga seorang yang ingin mendapatkan cinta dari wanita yang diidam-idamkannya maka ia pun menggunakan jimat agar sang wanita tersebut ‘kesengsem’ dengannya. Jimat pun biasa digunakan oleh orang yang akan mengikuti ujian akhir, misalnya berupa pensil khusus yang sudah dijadikan jimat oleh paranormal (baca: para tidak normal) dengan harapan agar pensil tadi bisa membuatnya lulus ujian. Tidak hanya itu, seorang balita yang belum berdosa pun sudah diajari menggunakan jimat.
Di suatu daerah tertentu yang pernah penulis jumpai, sebagian masyarakatnya memiliki kebiasaan mengikat gelang yang terbuat dari tali pada tangan balita dengan tujuan untuk menjaga balita dari gangguan jin.
Saudaraku yang semoga dirahmati Allah, kisah-kisah di atas merupakan sedikit gambaran tentang keadaan sebagian masyarakat kita yang masih sangat kental dengan dunia klenik dan perjimatan. Tentunya sebagai seorang muslim kita wajib untuk mengetahui bagaimanakah pandangan Islam mengenai hal tadi. Mungkin sebagian orang dapat menganggapnya biasa-biasa saja, bahkan dibolehkan. Tetapi menurut ajaran Islam barangkali berbeda.
Panutan kita berbicara tentang jimat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Sesungguhnya jampi-jampi, jimat dan pelet adalah kesyirikan”. (H.R Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban. Syaikh Al Albani dalam As Silsilah Ash Shohihah mengatakan bahwa hadits ini sahih). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda “Barangsiapa menggantungkan (memakai) jimat, maka ia telah berbuat syirik.” (H.R. Ahmad. Syaikh Al Albani dalam As Silsilah Ash Shahihah mengatakan bahwa hadits ini sahih).
Dari hadits di atas, kita mengetahui bahwa menggunakan jimat termasuk perbuatan syirik, sehingga jimat dengan segala bentuknya merupakan sesuatu yang terlarang, baik jimat tersebut digunakan untuk menolak bahaya maupun untuk mendatangkan manfaat, baik jimat tersebut dipasang pada tubuh seseorang, di rumah, toko, sabuk, dompet, kendaraan, ataupun yang lainnya.
Demikian juga tidak dibedakan apakah jimat tersebut berupa keris, benang, tali, kertas, kain, kulit, tulang, tanduk, batu akik, dan benda-benda yang semisalnya. Intinya, hakikat jimat tidaklah terbatas pada bentuk dan kasus tertentu, akan tetapi mencakup semua benda dari bahan apapun, dikalungkan, digantungkan, diletakkan di tempat manapun dengan maksud untuk menghilangkan atau menangkal marabahaya.
Kenapa orang yang memakai jimat telah berbuat syirik?
Karena seorang yang menggunakan jimat pada hakikatnya dia telah menjadikan jimat sebagai sebab untuk meraih manfaat atau menolak bahaya. Padahal jika ditinjau dari hukum syariat maupun akal sehat, jimat tidak dapat memberi manfaat atau menolak bahaya.
Kita boleh berkata, “ini disebabkan oleh…” jika memang terbukti secara syariat agama atau secara logika. Secara syariat maksudnya adalah Al Quran atau As Sunnah telah menetapkan bahwa sesuatu tersebut merupakan penyebab terjadi atau tidak terjadinya sesuatu. Sebagai contoh, bertakwa merupakan sebab masuk surga, silaturahim menjadi sebab dilapangkannya rezeki dan dipanjangkannya umur, madu dapat digunakan untuk mengobati penyakit, dan lain-lain.
Sedangkan secara logika jika pengalaman atau penelitian ilmiah telah membuktikan bahwa sesuatu tersebut mampu memberikan pengaruh kepada sesuatu yang lain dengan pengaruh yang nyata dan bukan sekedar sugesti. Sebagai contoh, minum merupakan sebab untuk menghilangkan haus, obat-obatan kedokteran yang terbukti dengan penelitian ilmiah dapat berpengaruh terhadap penyakit tertentu maka boleh kita gunakan sebagai sebab, dan lain-lain.
Lalu bagaimanakah dengan jimat? Apakah jimat telah terbukti secara syar’i ataupun logika dapat digunakan sebagai sebab? Secara syar’i justru dilarang dan secara logika pun tidak ada satu pun penelitian ilmiah yang membuktikan kebenarannya. Jika demikian mengapa mereka tidak berhenti menggunakan jimat?
Jimat termasuk syirik kecil atau besar?
Hukum menggunakan jimat dapat termasuk syirik kecil, maupun syirik akbar tergantung keyakinan pelakunya.
Jika orang yang menggunakan jimat meyakini bahwa jimat tersebut hanya sebagai perantara sedangkan yang memberikan pengaruh adalah Allah Ta’ala maka hal ini termasuk syirik kecil. Meskipun kita tidak boleh meremehkannya, karena syirik kecil (asghar) termasuk dosa besar yang dosanya lebih besar dari zina, merampok atau yang semisal.
Akan tetapi jika orang yang menggunakan jimat meyakini bahwa jimat tersebut mampu memberikan manfaat atau menolak bahaya dengan sendirinya (bukan Allah), maka orang tersebut telah terjatuh pada syirik besar yang menyebabkan pelakunya keluar dari Islam.
Padahal jika seseorang mati dalam keadaan tidak bertaubat dari dosa syirik akbar, maka Allah tidak akan mengampuninya, sehingga jadilah ia sebagai penghuni neraka yang kekal selama-lamanya, Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang lebih rendah dari itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (Q.S. An-Nisaa’: 48). Sebagian ulama berpendapat bahwa lafaz syirik pada ayat di atas bersifat umum yaitu mencakup syirik akbar dan syirik asghar, oleh sebab itu sudah selayaknya bagi kita untuk waspada.
Memakai jimat menafikan tawakal seseorang
Biasanya, orang yang memakai jimat akan merasa lebih ‘PeDe’ (Percaya Diri) jika bersama jimatnya, hatinya akan merasa tenteram selama jimat tersebut masih berada bersamanya dan sebaliknya ia akan merasa takut dan gelisah ketika tidak membawa jimatnya, tentu hal ini bertentangan dengan tawakal (bergantungnya hati seseorang hamba kepada Allah). Padahal tidak selayaknya bagi orang yang beriman, bertawakal kepada selain Allah. Bukankah Allah Ta’ala telah berfirman (yang artinya), “Dan hanya kepada Allah-lah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman”. (Q.S. Al Maidah: 23).
Tawakal yang sebenarnya adalah seorang hamba menyandarkan urusannya hanya kepada Allah, meyakini bahwasanya tidak ada satu hal pun yang terjadi kecuali atas takdir Allah, kemudian menyertainya dengan usaha melakukan sebab yang dibolehkan oleh syariat.
Adapun orang yang memakai jimat tidak termasuk orang yang bertawakal kepada Allah, karena hatinya telah bergantung kepada jimat. Hati mereka berpaling dari Allah dan merasa cukup dengan jimatnya, sehingga mereka pun dipalingkan kepada jimat tersebut. Sungguh benarlah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa menggantungkan sesuatu (sebagai jimat, pent) maka dia akan dibuat tergantung pada sesuatu tersebut”. (H.R Tirmidzi, dihasankan oleh Al Albany).
Lalu bagaimanakah jadinya jika seseorang dibuat tertaut kepada sebuah benda dan justru tidak berserah diri kepada Allah Ta’ala? Sungguh kerugian yang sangat besarlah yang akan ia peroleh. Tidakkah mereka meyakini bahwa segala sesuatu terjadi atas kehendak Allah? Tidakkah mereka meyakini bahwa segala sesuatu berada dibawah kekuasaan Allah? Tidakkah mereka merasa cukup dengan berlindung kepada Allah?
Semoga Allah melindungi kita dari perbuatan-perbuatan syirik dengan segala bentuknya.
Penulis : Sigit Hariyanto, S.T.